Kening Ridwan Syaputra berkerut-kerut saat berdiri di depan tabulampot king rose apple. Hobiis jambu air di Bogor, Jawa Barat, itu bingung bukan kepalang. Baru setahun dikoleksi, tabulampot di rumahnya tumbuh kerdil dan merana. “Padahal, ketika dibeli tanaman sarat buah. Sosoknya juga kokoh dan kompak,” katanya. Begitu media dibongkar dari pot, biangkeladinya diketahui. Media bagian atas dan tengah memadat cenderung menggumpal, kontras dengan dasar media yang becek. Akibatnya akar tanaman tak leluasa menyerap hara.
Kejadian yang dialami oleh Ridwan pun kerap ditemui oleh hobiis lain. “Komposisi media yang tepat untuk jambu air seperti apa sih?,” tanya Isabella Irawan, peserta kursus Membuahkan Tanaman Buah dalam Pot, yang digelar Trubus pada Maret 2006. Maklum, informasi yang didapat Isabella dari setiap nurseri langganannya berbeda-beda. Akibatnya ia kebingungan menentukan “rumah” yang tepat untuk jambu airnya.
Menurut Ir Wijaya, pada prinsipnya tak ada patokan komposisi media yang baku. “Yang penting media harus porous (mampu mengalirkan air dengan baik, red),” kata pemilik nurseri Mitra Cipaku, di Bogor itu. Karena itulah perbandingan komposisi dan jenis bahan untuk media bisa berbeda di setiap nurseri. Tergantung dari ketersediaan bahan dan kondisi lingkungan. Pertimbangan itu umumnya sudah dipahami oleh para pemilik nurseri.
Di tingkat hobiis, kondisi lingkungan yang berbeda menjadi masalah. Pada kasus Ridwan misalnya, ia membeli tabulampot jambu air di Jakarta, sementara rumahnya di Bogor. Curah hujan dan kelembapan di Bogor jauh lebih tinggi ketimbang di Jakarta sehingga media tanam yang dipakai di Bogor mesti lebih porous. Karena itu tak ada pilihan lain media harus diganti. Ciri
media yang kurang porous: ketika disiram air seperti tergenang dan lambat mengalir. Media pun terlihat selalu basah meski tak turun hujan 3—5 hari.
Lihat daerah
Sebaliknya media yang cocok dipakai di daerah Bogor bisa saja tetap digunakan di Jakarta dengan sebuah risiko. Penyiraman mesti lebih sering karena media yang cocok di Bogor umumnya lebih porous. Menurut Eddy Soesanto, pemilik nurseri Tebuwulung, potret Jakarta dan Bogor dapat menjadi acuan untuk kota lain. Misalkan, media tanam untuk kota Palembang, Surabaya, Pontianak, dan Singkawang komposisinya sama dengan media untuk Jakarta. Kota-kota itu berkarakter sama: panas dan curah hujan rendah. Sementara Malang, Batu, dan Jember medianya sama dengan Bogor karena mempunyai kelembapan tinggi.
Dari penelusuran Trubus ke berbagai nurseri dan hobiis sukses, ada beberapa bahan dasar media tanam yang sangat umum digunakan: sekam, pupuk kandang, dan tanah. Dari ketiga bahan itu sekam paling berperan menentukan tingkat keporousan media tanam. Ukurannya yang lebih besar ketimbang partikel pupuk kandang dan tanah memungkinkan terbentuknya poripori
yang menjadi “jalan tol” bagi air.
Menurut Eddy, dalam keadaan mendesak, sekam dapat diganti dengan pasir. Khusus untuk tabulampot, sekam yang direkomendasikan ialah sekam mentah dan sekam bekas alas peternakan yang telah tercampur kotoran ayam. Dari berbagai pengalaman, sekam bakar kemampuan melewatkan airnya lebih rendah. Sekam bakar pun mudah mengumpul di dasar pot karena tercuci. Menurut Wijaya, agar sekam dari peternakan ayam aman, sebaiknya difermentasikan dulu dengan efektif mikroorganisme menjadi bokashi.
Komposisi
Pengalaman Eddy, media tanam yang cocok untuk Jakarta ialah sekam, kotoran kambing, kotoran sapi, dan tanah dengan komposisi 1: 1/2 : 1/2 : 1/2. Pada prakteknya kotoran kambing dan sapi disatukan terlebih dahulu. Karena itu sebenarnya sekam, pupuk kandang, dan tanah komposisinya 1:1: 1/2. “Paduan kedua kotoran itu lebih baik,” ujarnya. Tanah porsinya sedikit
agar bobot media ringan. Untuk Kota Bogor, Eddy menyarankan volume sekam digandakan menjadi 2. Sehingga sekam, kotoran kambing, kotoran ayam, dan tanah perbandingannya 2: 1/2 : 1/2 : 1/2.
Widartono, hobiis buah di Jakarta lain lagi. Karena tak cocok dengan semua media yang dibeli di nurseri, ia menggunakan media 100% kotoran kambing. “Citra rajin berbuah. Sosok tanaman rimbun dan kompak. Malahan, ukuran daun menjadi lebih besar dari aslinya,” ujar pengusaha
kayu itu. Kelemahannya, harga kotoran kambing tentu lebih tinggi ketimbang sekam dan tanah biasa.
Menurut Wijaya, media ala Widartono menjadi alternatif bagi para hobiis yang kebingungan memilih media untuk jambu air. “Di antara pupuk kandang, kotoran kambing paling unggul,” katanya. Bentuk butiran pada kotoran kambing menyebabkannya bersifat slow release atau lambat urai. Komposisi hara makro dan mikro pun lebih lengkap.
Sementara kotoran kambing yang telah dihancurkan sifatnya mirip dengan tanah biasa, kokoh menahan batang jambu air sehingga tidak tumbang. Karena itu yang ideal ialah memadukan 2 bentuk kotoran kambing sekaligus: butiran dan hancurannya diaduk hingga merata. Bagi hobiis di daerah berkelembapan tinggi, media ala Widartono sebaiknya dicampur dengan sekam bokashi. Perbandingannya 1:1. “Saya pikir media dengan komposisi itu yang paling ideal,” ujar Wijaya.
Beragam alternatif media tanam dapat digunakan untuk tabulampot jambu air. Namun, yang perlu diperhatikan sebelum media dimasukkan ke dalam pot, pastikan dasar pot diberi benda yang berongga. Styroform yang telah dipotong-potong bisa menjadi pilihan. Ketebalannya sekitar 5—10 cm. Alternatif lain gunakan sekam mentah murni setebal 10 cm. Di atas sekam lapisi ijuk setebal 1—2 cm agar butiran media tidak tercuci. Media pilihan Anda pun siap menjadi saksi berbuahnya tabulampot.(Destika Cahyana)
artikel ini copas dari trubusonlinecoid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar