Pertanyaan itu tercetus begitu saja ketika awak redaksi Majalah Trubus mencicip jambu air kiriman Sunardi, penangkar buah di Kabupaten Binjai, Sumatera Utara. Beberapa hari sebelumnya pemilik nurseri Mulia Tani itu mengabari tentang sebuah jambu air istimewa. “Warnanya hijau, tapi rasanya manis sekali,” katanya lewat pesawat telepon.
Senin pada minggu terakhir Februari 2012 sebuah dus berisi 24 jambu air kiriman Sunardi tiba di kantor redaksi di Cimanggis, Depok, Jawa Barat, setelah menempuh perjalanan melalui darat selama 2 hari. Begitu kemasan dibuka terlihat buah dalam bungkusan tisu. Sunardi mengemas jambu air dengan hati-hati supaya tidak rusak di perjalanan.
Di balik selimut tisu itu terlihat jambu air berkulit hijau dengan semburat merah di bagian dekat cuping. Sosoknya relatif besar, ketika ditimbang bobot buah rata-rata 125-150 gram. Decak kagum langsung terdengar begitu buah dicicip. Harap mafhum, buah berbentuk lonceng itu begitu manis, terutama di bagian dekat cuping. Dari pengukuran dengan refraktometer kadar kadar gula mencapai 10,5o briks. Ketika mengunyah terdengar bunyi kres.. kres.. kres tanda daging buah renyah.
Manis renyah
Kepala Pusat Kajian Buah Tropika Institut Pertanian Bogor (PKBT-IPB), Sobir PhD yang Trubus kirimi jambu air dari Sumatera Utara itu juga memuji. “Keunggulan jambu air ini terletak pada daging buahnya yang renyah dan manisnya pas. Kandungan airnya juga tidak terlalu banyak sehingga daya simpannya bisa lebih lama,” kata Sobir PhD. Pantas selama 2 hari perjalanan dari Binjai ke Depok bagian buah yang rusak hanya sedikit. “Hanya dari segi penampilan memang kalah atraktif dibanding citra yang berwarna merah,” kata doktor Genetika Molekuler dari Okayama University, Jepang, itu.
Penampilan itu juga yang sempat membuat Prof Roedhy Poerwanto, ahli buah di IPB, mula-mula tidak antusias mencicip jambu air itu. “Penampilannya kurang atraktif. Tapi begitu buah dimakan, rasanya enak sekali. Saya menyukai kerenyahan daging buahnya,” tutur doktor Bioresources Production Science dari Ehime University, Jepang, itu. Keunggulan lain buah tidak berbiji. Rasa enak dan tekstur renyah pula yang membuat Kepala Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB) IV Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara, Ir Sugeng Prasetyo, terkesan.
“Dari segi penampilan dan rasa sebenarnya masih kalah dengan cincalo,” tutur Dr Ir Moh Reza Tirtawinata, ahli buah di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Cincalo varietas jambu air berwarna hijau yang sudah dilepas sebagai varietas unggul nasional. Keistimewaannya kadar kemanisan mencapai 10o briks. Sosok buah menyerupai lonceng. Dalam skala 1-10 Reza memberi nilai 9 untuk penampilan dan rasa citra; cincalo, 7,5; dan jambu air yang baru dicicip itu 6,5.
Jambu air “baru” itu merupakan hasil panen dari kebun milik sepupu Sunardi, Agus Darmadi, di Langkat, Sumatera Utara. Dari tanaman yang kini rata-rata berumur 2 tahun, Agus sudah 4 kali memanen buah. Pada panen pertama saat umur tanaman 14 bulan pascatanam ia mendapat 10 kg buah per tanaman. Tanaman bisa dibuahkan 2-3 kali dalam setahun.
Sejatinya, Sunardi juga menanam Syzygium samarangense, tetapi tanaman baru berbunga, umur 10 bulan pascatanam. Pria kelahiran Binjai itu menanam jambu air itu di dalam polibag berukuran 60 cm x 70 cm berjarak 2 m x 2 m. Total jenderal Sunardi menanam 200 pohon asal bibit sambung di tiga kebunnya di Langkat.
Asal Taiwan
Sunardi mendapat bibit tanaman anggota famili Myrtaceae asal cangkok itu dari Agus. Agus memperoleh bibit jambu air itu dari pekebun di Medan. Menurut kabar jambu air itu asal Taiwan. “Tak ada yang tahu pasti siapa dan kapan tepatnya jambu air itu masuk ke Sumatera Utara. Yang jelas 5 tahun lalu ada beberapa pekebun di Medan yang membudidayakannya,” kata Sunardi. Menurut penangkar buah sejak 15 tahun silam itu, pohon tertua yang ia temui berada di rumah seorang kolektor di Medan. “Diperkirakan berumur 20 tahun,” ujar pria kelahiran Binjai 43 tahun silam itu.
Tak heran bila namanya beragam. “Ada yang menyebut green star, lilin hijau, dan super hijau,” kata alumnus STM jurusan otomotif itu. Sementara di Langkat dan Binjai jambu air itu dijuluki madu hijau karena warna buahnya yang hijau dan rasanya manis seperti madu.
Menurut Arnold Simatupang, pengawas kultivar dari Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB) IV Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara, madu hijau sudah dikebunkan secara komersial sejak 5 tahun silam. Ketika itu ada sekitar 5 pekebun, rata-rata menanam 100-200 pohon. Hasil panen dijual ke Singapura dan Malaysia. Buah tidak lolos sortir dijual ke pasar swalayan di Medan, Batam (Kepulauan Riau), dan Jakarta. Sayang penanaman terbatas pada komunitas tertentu.
Dalam polibag
Bermodal satu bibit dari pekebun di Medan itu Agus memperbanyak tanaman. Saat ini ada minimal 27 pekebun jambu madu hijau di Langkat. Mereka memperoleh bibitnya dari Agus. Setiap pekebun menanam minimal 50 bibit di dalam polibag.
Dari minimal 27 pekebun itu ada 4 orang yang sudah menuai hasil karena umur tanaman lebih dari setahun. Toyib, misalnya, memanen 150 kg buah per hari dari 400 pohon madu hijau berumur 14 bulan. Buah itu langsung dibeli oleh agen buah pemasok ke pasar swalayan. Mayoritas buah, 95%, lolos sortir: buah minimal berbobot 50 gram dan mendapat harga Rp30.000/kg di tingkat pekebun.
Saat ini jambu air itu dalam proses pelengkapan data untuk didaftarkan sebagai varietas unggul nasional. “Jambu air ini akan didaftarkan ke Pusat Perlindungan Varietas Tanaman di Kementerian Pertanian,” kata Arnold. Dengan demikian semakin banyak pekebun yang bisa membudidayakan dan konsumen yang mencicip kelezatan jambu air semanis gula itu. (Rosy Nur Apriyanti)
Jambu madu hijau berkadar kemanisan 10,5 briks
Jambu madu hijau berbuah saat tanaman berumur setahun asal bibit cangkok
Berbobot 150-200 gram/buah
Dr Ir Moh Reza Tirtawinata, dalam skala 1-10 penampilan dan rasa jambu madu hijau bernila 6,5
Citra berwarna lebih atraktif daripada jambu madu hijau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar